Saung BangO
– Tadi pagi ada kiriman file materi Kajian Soal-Jawab Fiqih dari acara “Ngaji
Subuh” di grup WA. Judulnya sangat menarik, “Membantah Pendapat-pendapat yang
Membolehkan Bunga Bank”, yang disampaikan secara live oleh KH. Muhammad Shiddiq Al Jawi, M. Si. Mau tau isinya? Yuk,
simak sampai habis.
Pada
hari Ahad yang lalu (27 Maret 2022), media masa di Timur Tengah memberitakan
fatwa kontroversial dari Dr. Syauqi ‘Alam, mufti Republik Mesir, seputar bunga
bank. Di kanal TV “An Nahar” Mesir (27
/03 /22 ), Dr. Syauqi ‘Alam menyatakan bahwa,
“Tidak ada keharaman atau syubhat dalam menabung di
bank, karena transaksi bank adalah investasi (istitsmar) dana masyarakat, yang berbeda dengan apa yang ada dulu.
Investasi ini diatur dengan undang-undang yang sangat jelas, yang tak ada
hubungannya dengan pinjaman (qardh),
karena yang ada hanyalah investasi (istitsmar).”
(https://www.almasryalyoum.com/ details/ 2560119)
Dr. Syauqi ‘Alam menambahkan bahwa, “Bertransaksi
dengan perusahaan yang tunduk pada hukum negara, akan memungkinkan pihak yang
dirugikan untuk menempuh jalur hukum dan meminta kembali haknya. Adapun
transaksi antar individu dengan tambahan pinjaman, nah itu lah riba, dan
sebaiknya pinjaman (qardh) tidak
dilakukan antar individu.” (https:// www.almasryalyoum.com/news/details/2560119)
Tidak semua investasi hukumnya halal
Di
antara argumentasi Dr. Syauqi ‘Alam untuk menghalalkan bunga bank adalah karena
bunga bank merupakan bagian dari investasi (istitsmar)
dana masyarakat. Perhatikan argumen beliau yang rapuh:
“Tidak
ada keharaman atau syubhat dalam
menabung di bank, karena transaksi bank adalah investasi (istitsmar) dana masyarakat.”
Jadi
seakan-akan berbagai macam transaksi dalam investasi (istitsmar) itu halal semua. Atau otomatis halal.
Padahal
faktanya tidak demikian. Investasi (istitsmar)
itu sendiri merupakan semua kegiatan untuk mengembangkan harta (tanmiyatul maal), yang dapat saja
hukumnya halal dan dapat saja haram. Tidak semua investasi, halal hukumnya
secara syariah, meskipun mungkin ada invetasi yang haram menurut syariah,
tetapi mendapat legalitas negara. Sebagai contoh, di Indonesia, pinjaman online
(pinjol) ada yang legal dan ada yang ilegal menurut OJK, padahal semuanya haram
menurut syara’.
Prof.
Dr. Ali As Salus mengkritik orang yang membuat kategori investasi (istitsmar) sebagai sebagai satu jenis
dan semuanya dihukumi halal.
Kata
Prof. Dr. Ali As Salus, “Investasi (istitsmar)
itu tidak satu satu jenis saja atau satu akad saja. Investasi [itu banyak
macamnya], masing-masing ada dalil-dalilnya, redaksi-redaksi akadnya,
akibat-akibat hukumnya, syarat-syaratnya, dan seterusnya. Misalnya, ada akad qardh (pinjaman), utang-piutang, atau
titipan. Jadi ada macam-macam akad investasi. Masing-masing jenis harus
dipahami secara tersendiri ... ” (Ali As Salus, Mausu’ah Al Qadhaya Al Fiqhiyyah Al Mu’ashirah, hlm. 226 )
Jadi
di situlah kekeliruan fatal Dr. Syauqi ‘Alam, yaitu beliau menghalalkan bunga
bank karena menganggap investasi (istitsmar)
itu kategorinya hanya satu jenis saja, dan semua investasi otomatis dianggap
halal.
Padahal
faktanya, investasi itu bermacam-macam bidang usahanya. Ada investasi di bidang
produksi khamr (minuman keras), di
bidang peternakan babi, di bidang prostitusi, di bidang pornografi, di bidang
perjudian, dan di bidang narkoba.
Lalu, apakah semua bidang investasi itu halal hanya
karena semuanya merupakan investasi? Tidak, bukan?
Penjaminan merusak akad investasi
Argumen
kedua Dr. Syauqi ‘Alam untuk menghalalkan bunga bank, karena ada penjaminan
oleh bank untuk tabungan yang disetor oleh nasabah.
Perhatikan
argumennya:
“Sesungguhnya
bertransaksi dengan perusahaan yang tunduk pada hukum negara, akan memungkinkan
pihak yang dirugikan untuk menempuh jalur hukum dan meminta kembali haknya.”
Dalam dunia perbankan, peluang pengembalian
tabungan, dimungkinan karena ada penjaminan dari pihak bank.
Padahal,
adanya penjaminan inilah yang sangat merusak akad yang ada. Mengapa?
Karena
dengan adanya penjaminan maka setoran uang dari nasabah akan berubah sifat. Setoran
yang semula dihukumi sebagai modal (ra`sul
mal) dalam akad syirkah (kerjasama usaha antar nasabah dengan bank), akan
berubah menjadi pinjaman (qardh),
karena ada penjaminan.
Seharusnya, dalam akad syirkah, tidak boleh ada
penjaminan yang diberikan oleh pihak pengelola modal (bank), yakni jika terjadi
kerugian maka modal dijamin oleh bank akan dikembalikan kepada nasabah. Hal ini
tidak boleh secara syariah.
Dr.
Sami Suwailim, seorang ahli keuangan syariah, pernah ditanya, ” Bagaimanakah
hukumnya jika ada lembaga keuangan yang menerima setoran modal dari investor,
lalu mengelola modal investor, dan lembaga keuangan itu memberikan jaminan
terhadap modal tersebut? ”
Dr
. Sami menjawab, “Jika penjamin adalah lembaga yang sama yang mengelola
investasi, maka transaksi ini diharamkan dan tidak diperbolehkan. Hal ini
karena lembaga tersebut menerima modal dari investor dan menjamin modal itu
bagi investor, dengan perjanjian bahwa lembaga akan mengelola modal tersebut
dan berhak mendapat keuntungan sesuai kesepakatan dengan pihak investor. Padahal
ketika lembaga tersebut menerima setoran modal, seraya memberikan penjaminan
modal itu kepada investor, maka hakikatnya akad itu adalah pinjaman (qardh).” (Sumber: https://islamqa.info/ar/answers/260003260003260003260003260003260003/حكم-الشُّكة-اذا-كان-الرب
ح-نسبة-من-راس-المال-لكن-مدة-الشُّكة-متغ تة )
Nah selanjutnya, jika dana yang disetor itu statusnya sudah berubah dari modal menjadi pinjaman (qardh), karena ada penjaminan dari pihak pengelola modal (bank), maka konsekuensi hukum selanjutnya, keuntungan yang diperoleh dari pinjaman itu tentu bukanlah laba (profit), melainkan riba.
Dengan
demikian, adanya penjaminan modal oleh pihak bank kepada investasi nasabah,
justru telah merusak investasi. Hal tersebut karena modal akan berubah menjadi
pinjaman, dan keuntungan yang diperoleh berubah pula statusnya dari laba
(profit) menjadi riba. Fatal. Na’uzhu
billah min dzalik. (Ali As Salus, Mausu’ah
Al Qadhaya Al Fiqhiyah Al Mu’ashirah, hlm.160).
Jadi,
yang seharusnya adalah, investor harus siap menanggung kerugian.
Hal ini sesuai sabda Nabi SAW:
“Keuntungan
itu diimbangi dengan kesiapan menanggung risiko kerugian.” (English: no gain without risk). (HR Abu Dawud,
Tirmidzi, dan Ibnu Majah)
Juga sesuai dengan kaidah fiqih:
“Kesiapan menanggung kerugian diimbangi dengan hak
memperoleh keuntungan.” (M. Mushthofa Az Zuhaili, Al Qawaid Al Fiqhiyyah wa Tathbiqatuha fi Al Mazhahib Arba’ah, 1/543
).
Kriteria investasi yang halal
Seperti sudah dijelaskan sebelumnya, tidak semua investasi itu
halal hukumnya. Investasi itu ada yang halal, ada yang haram.
Terdapat setidaknya 4 (empat) kriteria untuk investasi yang
halal, yaitu;
Pertama, bidang usaha investasi itu haruslah haruslah halal. Tidak
boleh bidang usahanya haram, seperti simpan pinjam ribawi, produksi miras,
prostitusi, narkoba, dan sebagainya.
Kedua, mengamalkan akad syirkah
(kerjasama bisnis), atau akad-akad syar’i lainnya, dengan memenuhi segala rukun-rukun
rukun dan syarat-syaratnya.
Ketiga, tidak ada penjaminan modal
oleh pihak pengelola modal. Investor harus siap menanggung kerugian.
Keempat, bagi
hasilnya dinyatakan dalam bentuk persentase dari laba (profit sharing), bukan dinyatakan dalam persentase dari modal, atau
dalam bentuk lump sump (jumlah
nominal tertentu yang fixed). (BangO)
Komentar
Posting Komentar